@abuafi
28 Agustus 2006
Disebuah lereng gunung lawu terdapat kabupaten kecil bernama Karanganyar. Tepatnya kamis legi jam tiga sore saat Adzan Ashar berkumandang, seorang Ibu muda yang berusia sekitar dua puluh enam tahun berusaha menahan kelahiran bayinya karena menunggu ibu bidan yang akan membantu persalinan.
Tetapi tampaknya takdir berkehendak lain, Sang bayi itu terpaksa keluar sendiri dari perut yang besar itu tanpa bantuan siapapun hanya ibunya sendiri
Saat ini Sang bayi sudah bisa menulis, walaupun belum pernah menulis cerpen, tetapi tetap nekat, dan inilah hasilnya.
Dari seorang penulis yang belum pernah menulis, hanya mencatat sesuatu yang tidak ditulis.
Karya ini adalah karya pertamanya…seorang pemula.
Karya yang terinspirasi dari sang Ibu
Dan mohon maaf jika kisah ini disajikan secara bersambung mulai sesi satu hingga sesi enam.
Terima kasih jika ada yang mau memberikan komentarnya secara langsung (abuafi@yahoo.com)
Diawali dengan BISMILLAAHI ROHMANI ROHIM : SABTUNYA IBU
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sabtunya Ibu : Kring…
Sesi-1
Sabtu, Tiga belas Agustus tahun dua ribu lima.
"Kringg.. Kringgg “
Telingaku yang sensitif langsung kaget dibuatnya, dengan mata yang masih sembab, ku ucek-ucek mataku sambil melirik jam dinding mickey mouse kesukaan anakku diatas lemari. Masih pagi sekali, jam empat lebih lima menit.
“mbak Rani kah ?“
Dua hari lalu, ada kabar dari adikku Fatimah, saat itu kebetulan adalah waktunya dia bayar hutang ke bapak atas pembelian mobil yang sekarang dikendarainya, jadi dia menelepon dulu ke klaten. Saat itu, dia menceritakan kalau bapak tidak ada dirumah, ternyata sedang kerumah sakit mengantar ibu. Mendengar itu, saat itu juga aku telpon ke handphone bapak,
"Nggak papa kok, ibu tadi malem muntah-muntah dan ada sedikit darah, jadi langsung bapak bawa ke RS.PKU Delanggu. Insya Alloh kondisinya sekarang sudah mendingan. Ibu sedang tidur nyenyak."
Hari itu adalah hari dimana ibu pertama kali masuk dan dirawat dirumah sakit, ya seumur hidupnya.
"Alhamdulillah, mugi-mugi ibu enggal sehat nggih pak"
Walau dalam hatiku masih merasakan adanya sesuatu yang mengganjal, tapi entah apakah itu. Dan jawabannya baru kutahu dua hari kemudian, hari ini. Aku percaya penuh atas jawaban bapak. Ternyata inilah kesalahan fatal pertamaku, terlalu nggampangno dan rada tidak 'care' sama keluarga, jawaban bapak tidak kulanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang menunjukkan ‘care’ ku pada ibu.
Kesalahan kedua muncul pada hari jum'at, aku menyanggupi ikut temen-temen kantor untuk bersama-sama rafting atau yang biasanya disebut juga dengan arung jeram di Sungai Pekalen Ponorogo pada Sabtu pagi jam lima. Karena memang akulah yang sebelumnya memanas-manasi mereka, bahkan sempat kirim email ke mailing list kantor memberikan pengumuman. Untuk peserta Rafting agar besok sabtu kumpul jam lima tepat di halaman kantor dan berangkat naik BUS.
Jum'at itu aku disibukkan dengan persiapan untuk esok hari mengikuti rafting di Sungai Pekalen Probolinggo. Saat membeli sepatu sandal yang bahannya musti kedap air kupilih sepasang sandal bermerk New Era karena kebetulan selain modelnya cocok untuk dipakai di sungai, saat itu sedang diskon. Memang memakai sepatu sandal lebih baik daripada menggunakan sepatu sport, repot sekali jika kemasukan air akan mudah rusak dan berat, belum lagi kakinya jadi lembab. Baju dan celana ganti tidak lupa kusiapkan sepasang, karena pasti akan basah kuyup terkena air sungai walaupun sebenarnya bisa juga beli kaos di toko Regulo rafting disana. Celana kupilih yang tiga perempat dengan bahan tipis tapi tidak mudah sobek, celana yang juga biasa untuk naik gunung. Celana olah raga panjang atau yang biasa disebut training tidak kupilih karena takutnya juga akan jadi berat jika terkena air sungai. Yang terakhir adalah perlengkapan mandi. Kebetulan aku sudah siap dengan tas kecil yang berisi sabun mandi gel, sikat gigi pendek berhelm, shampoo, dan handuk kecil. Tas kecil itu memang sudah siap, khusus untuk kegiatan saat aku dikirim keluar kota. Semua kebutuhan untuk rafting sudah selesai. Siap berangkat. Malam sabtu itu semua barangku untuk rafting sudah siap dan diletakkan di ruang tamu,
"tinggal angkat kaki besok pagi.." pikirku
Sehabis mempersiapkan segala sesuatunya, aku masih sempat menelepon dek fatimah. Dia punya rencana akan ke klaten, tetapi aku belum tahu kapan dia berangkat.
“ Hallo, Assalaamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam. Mas Rohim ya ? ada apa mas ? ”
Aku baru sadar jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk menghadapi rafting besok.
“Jadi pulang nggak ? kapan ?“
“ Oo itu tho, Insya Allah nanti jam sepuluh nanti mas. Mau bareng ?”
Dia memang tinggal tak jauh dari rumahku, sama-sama di surabaya. Hanya dia di Surabaya barat, aku diselatan. Kalau dihitung dalam satuan waktu, hanya sekitar sepuluh menit saja. Dengan santainya aku ngomong ke dek Fatimah,
“Malam ini ? sori ya aku nggak bisa sekarang soalnya masih ada acara kantor dulu”
kujelaskan kedia, bahwa besok pagi ada acara bersama teman-teman kantor yang mungkin siang hari sudah selesai.
”Kalo gitu aku titip salam ya buat Ibu, aku baru bisa berangkat ke sana besok siang setelah acara rafting ya. Jadi mungkin sampe sana baru malam minggu”
Tak kusadari, inilah kesalahanku yang ketiga.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sabtunya Ibu : Berangkat…
Sesi-2
“KRINGGGG"... semakin keras,
Dug-dug-dug, jantungku berdetak semakin cepat, mungkin kalo biasanya kondisi normal nadiku adalah tujuh puluh denyut permenit berubah drastis menjadi dua kali lipat, seratus empat puluh denyut permenit. Setiap ruang jantungku terasa mengendur dan terisi darah lebih cepat dari biasanya. Berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung. Karena sangat cepat, dan didukung pula oleh kondisi saluran pembuluh darahku yang kata dokter mengalami penyempitan, maka darah yang seharusnya kaya akan oksigen dan beredar melalui pembuluh darah keseluruh tubuh ini malah membuat pernapasanku agak tersengal-sengal. Langsung aku berlari kearah telepon yang ada di ruang tamu itu dan kuraih gagangnya cepat-cepat.
"Assalaamu'alaikum..".. sambil kucoba tenangkan diri.
"Wa’alaikumumsalam" nada suara perempuan yang sudah kukenal
“Ini mbak Rani ya ?”
“Iya, aku Rani, aku isih ning rumah sakit sekarang, cepet ndang mulih dik, Ibu gerah nemen”
Rani, kakakku angkatku yang sekarang tinggal dekat dengan rumah hanya menyampaikan kalimat yang kalau diketik di komputer mungkin nggak sampe satu baris. ”Klik”
Teleponnya langsung mendengung. Aku terdiam, tanpa sempat meletakkan gagang telepon itu ketempatnya semula.Hingga akhirnya,
"Allahu akbar - Allaahu akbar"
Suara adzan masjid samping rumah langsung mengingatkan dan membuatku segera bergerak.
"Ya Alloh, berikan kekuatan kepada ibuku"
Segera setelah membangunkan istri dan anak-anak, kuambil air wudlu untuk persiapan sholat dimasjid. Kuceritakan berita yang disampaikan Mbak Rani tadi kepada istriku, kuminta untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya.
“Bune, selesai sholat, kita langsung berangkat ya, tolong kasih tahu juga temen kantorku kalo aku nggak jadi ikut rafting. Bawa baju secukupnya saja.”
Kuputuskan akhirnya tidak ikut rafting, walau sebenarnya itu adalah keputusan yang rada berat bagiku, aku sangat menyukai olahraga berbau petualangan ini. Tapi mungkin ini keputusan yang terbaik.
Setelah menitipkan kunci rumah ke tetangga samping dan pamitan padanya, aku langsung masuk mobil yang disopiri istriku dulu, karena kalo aku yang nyetir pasti tidak akan bisa tenang. Tadinya aku ngotot ingin nyetir.
“Nanti aja mas kalo sudah sampai Nganjuk, sekarang baca-baca aja dulu sambil jalan dan juga berdo’a”
Sebelum berangkat sempat bawa buku-buku yang kiranya perlu untuk dibaca. Memang sebelumnya tak terpikir olehku, tanganku secara otomatis mengambil buku kumpulan do'a, mudah-mudahan bisa mengingatkanku akan doa-doa yang sudah lama tidak kubaca. Dan buku Fatwa Kontemporernya Yusuf Qardawi, kalau buku ini aku hanya kebetulan saja sedang membaca ulang kembali dan belum selesai. Perjalanan dari Surabaya ke Nganjuk cukup jauh dan melelahkan, akan memakan waktu lebih dari dua setengah jam. Mudah-mudahan istriku kuat. Baru setelah itu aku akan melanjutkan sisa perjalanan dari Nganjuk ke Klaten yang masih memakan waktu empat jam lagi. Sehingga harus dimanfaatkan benar waktu yang panjang ini.
Ingatanku kembali pada telepon pertama dini hari tadi, setelah sholat witir aku langsung menelepon mbak Rani untuk menanyakan apakah dik fatimah sudah sampe disana atau belum, karena dia sudah berangkat sekitar jam sepuluh malam. Perjalanan malam, biasanya akan lebih lancar, jadi pasti sekitar lima jam perjalanan saja.
Dik Fatimah belum sampai, tapi mungkin sebentar lagi katanya. Akhirnya kutanyakan kondisi ibu, hampir lima belas menit mbak Rani cerita mengenai kondisi ibu di rumah sakit. Malam sabtu itu ibu sudah rada sehat, bisa ngobrol enak dengan para tamu, bahkan ibu sempat mengatakan
"Sesok aku wis muleh kok, wis podo muliho kono, wis jam sewelas lho"..
Hampir sepuluh orang ngumpul disana, mulai dari bapak, adik-adik bapak, keponakan dan teman-teman ibu pada malam itu memang masih menemani diluar ruangan sampe ibu tertidur. Dan setelah permintaan ibu itu, sekitar jam sebelas malam semuanya pulang, kecuali bapak dengan Ibu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sabtunya Ibu : Isih Kuwat…
Sesi-3
Dini hari sekitar jam satu bapak terbangun karena mendengar suara-suara gaduh dan dilihatnya kasur yang dalam kondisi kosong, Ibu tidak ada ! tidak ada di tempat tidur. Tampak diruangan itu banyak kotoran tinja berceceran dimana-mana, mulai dari atas kasur lalu turun dibawahnya dan ternyata dilantai juga sangat banyak mengarah ke kamar mandi yang ada didalam kamar. Ibu memang dirawat di VIP Room yang cukup memadai untuk RS PKU Muhammadiah selevel kabupaten kecil, sehingga kamar mandi dalam kamar juga tersedia.
Dan ternyata ibu sudah ada dikamar mandi dengan penuh kotoran, tetapi kelihatannya dalam kondisi lemas. Dengan gerakan cepat bapak segera membantu ibu dengan memegangi dan menyangga tangannya agar tidak terjatuh di kamar mandi.
”Mboten nopo-nopo kok mas, aku isih kuwat”
Ibu tampak sekali sebenarnya tidak ingin merepotkan bapak, makanya tadi tidak membangunkannya. Ibu memang orang yang biasa mengerjakan segala sesuatunya sendirian, biasa mandiri. Bakat yang memang sudah tertanam sejak dari kecil. Kondisi hidup saat itu yang memaksa munculnya hal itu. Setelah membopong ibu ketempat tidurdengan tertatih-tatih berjalan menuju kasur, bapak kembali membersihkan semuanya hingga ruangan itu kembali bersih. Ibu terdengar rada mengeluh dan tampak tidak tenang, tidak bisa tidur. Seperti biasa, bapak segera memanggil suster yang ada di ruang tengah.
"Suster, tolong Ibu dikasih penenang ya tampaknya sulit tidur, kasihan".
Bapak juga menelepon mbak Rani agar bisa datang dini hari itu menemani Ibu, karena Ibu juga memanggil-manggil nama mbak Rani. Suntikan yang diberikan suster melalui saluran infus itu langsung terlihat dampaknya. Ibu tampak tenang dan tertidur sambil tersenyum,terlihat sekali ketenangannya bila dibanding tadi saat buang air besar yang tampak sayu. Mbak Rani datang.
"Tolong jaga Ibu sebentar, Ran. Aku arep Sholat sik",
Kebetulan memang saat itu masih jam dua pagi, dan melihat kondisi ibu yang udah menikmati tidurya, bapak jadi agak lega. Dikamar itu juga bapak langsung sholat malam. Mbak Rani dengan tenang memegang tangan ibu,
"kok aneh ? agak dingin tangan ibu" tanyanya dalam hati.
Diperhatikannya Ibu dari atas hingga bawah. Seorang wanita tua dengan rambut hitam diselingi uban keputih-putihan yang terurai sebahu tampak kusut seperti tak pernah keramas. Dahinya berkerut tak berurut, tertutupi oleh helai-helai rambut yang pajang. Tetapi ada dua tanda hitam didahinya masih terlihat jelas, tanda yang biasa tampak pada orang yang sangat rajin sholat. Insya Alloh memang ibu hampir setiap hari melakukan sholat malam bersama bapak. Lesung pipi menghias pipi cantik yang orang jawa bilang ‘dekik’ itu memang sudah agak tidak kelihatan, tapi dengan keunikan lesung pipinya inilah yang mengambarkan bagaimana cantiknya ibu saat muda dulu, seorang putri solo juga. Klaten tempat kelahiran ibu adalah termasuk bagian dari karesidenan surakarta, atau yang biasa dikenal dengan kota solo. Sehingga wajar saja jika disebut juga putri solo. Lagu keroncong ”Putri Solo ” sesuai mengiringi Ibu.
Putri solo yen ngguyu dekik pipine, ireng manis kulitane, dasar putri solo..
Hidungnya memang tidak semancung orang arab, tapi agak sedikit mbangir. Sama persis dengan hidungku yang mancung kedalam, kata bapak. Hidung orang jawa, kata orang-orang rata-rata adalah pesek. Jadi kalau mbangir malah nanti dikira orang arab. Ibu masih menggunakan baju daster batik berwarna biru kesukaannya yang dibeli dari pasar klewer solo. Hampir seluruh kios yang ada dipasar klewer menjual batik, mulai dari kaos batik, kemeja batik, bahkan celana batik, tetapi belum ada pakaian dalam batik, tidak menarik mungkin. Harganya memang cukup murah disana, tetapi harus pintar-pintar menawar, jika tidak bisa-bisa memperoleh harga tiga kali lipat dari harga normal.
Senyum manis dimulut yang kecil seperti tidak menyiratkan kesakitan yang dialaminya. Dokter di rumah sakit kecil itu belum bisa memastikan jenis penyakitnya, walaupun telah mengundang dokter spesialis internist dari rumah sakit umum dr. Moewardi di Solo. Ibu memang jarang sekali mau periksa ke dokter. Bisa dihitung dengan jari kalau selama hidupnya itu periksa kedokter nggak sampai lebih dari sepuluh kali. Jika kadang terasa nyeri dikepala atau sakit perut pasti selalu membeli ’pil ajaib’ yang terdiri dari tiga butir kapsul di sebuah toko jamu kecil di pasar delanggu. Dan ajaibnya, ibu selalu merasa lebih enak setelah minum obat itu, mungkin itu yang dinamakan sugesti. Dimana mana sugesti itu memang senjata paling ampuh dalam menyembuhkan suatu penyakit. Sayang sekali sepertinya tidak ada dokter ataupun psikiater yang mencoba mendalami pengetahuan sugesti ini. Hal yang sebenarnya juga sama dengan yang sering aku alami, hanya kalau aku pasti merasa sehat karena sugestinya adalah setelah diperiksa dokter spesialis. Suatu ketika, aku diminta ibu membelikan ’obat ajaib’ itu, dan kutanya kepada ibu tua yang jual disana, sebenarnya obat apakah itu, dia hanya menjawab,
”Obat kesel mas”, sudah itu saja.
Kuminta lebih diperjelas lagi, dengan santai dan sambil mesem dia langsung pergi melayani pembeli yang lain. Hingga saat ini, belum pernah aku mengetahui jawabannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sesi-4
Jari jemari ibu ditutupi oleh kulit agak keras, urat-urat syaraf menonjol kehijauan menutupi keriput-keriput yang tampak pada tangannya. Telapak tangan yang cukup kasar melukiskan jejak-jejak kehidupan yang telah ditempuh Ibu, dimana saat kecilnya hanyalah anak dari seorang petani yang juga pejuang perang dari desa Grideh kabupaten Klaten.
Klaten adalah sebuah kabupaten yang sebenarnya cukup ramai, karena merupakan daerah transit, berada diantara dua kota besar, yaitu solo dan jogja. Bila melakukan perjalanan dari solo ke jogja maka akan melalui klaten yang tepat berada ditengah-tengahnya. Posisi yang terletak diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu membuatnya menjadi daerah yang subur. Walaupun ada juga daerah yang tidak begitu subur disekitar selatan berbatasan dengan gunung kidul.
Ibuku pernah bercerita bahwa sebenarnya kata Klaten berasal dari kata “kelati” atau buah bibir. Kata “kelati” ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Tapi ternyata cerita tentang klaten tidak cuma itu, beliau juga mengatakan bahwa ada versi lainnya menyebutkan kata Klaten berasal dari kata Melati. Dari Melati kemudian berubah menjadi Mlati dan berubah lagi jadi kata Klati, sehingga akhirnya karena agar memudahkan pengucapan maka dari kata Klati berubah lagi menjadi kata Klaten. Sebenarnya Melati adalah nama seorang Kyai yang pada kurang lebih lima ratus enam puluh tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkapnya, menetap di tempat itu. Makin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang. Sedangkan dukuh tempat tinggal Kyai Melati lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian dari nama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pulalah Kyai Melati dimakamkan. Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan baru itu aman dari gangguan perampok. Setelah meniggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya. Cerita yang membuatku menjadi semakin merindukan kampung halaman.
Desa ibuku yang bernama Grideh juga sangat amat subur, dengan pengairan yang tidak mengenal musim karena dialiri terus dari sumber air Cokro Tulung dimana sekarang sudah pula dibisniskan menjadi air minuman dalam kemasan seperti Aqua, maka area persawahan yang walaupun hanya sepetak itu sangat membantu menghidupi keluarganya. Keluarga yang hanya berdua, tanpa kakek. Kakek sudah lama tidak ada, mulai usia lima tahun, ibu sudah hidup hanya berdua dengan nenek.
”Kakekmu itu hilang tak tentu rimbanya. Bahkan sampe sekarang ibu juga tidak tahu dimana kuburannya. Tetapi kamu harus bangga le, soalnya sekarang nama kakekmu itu dikenang oleh banyak orang karena perjuangannya dan menjadi nama jalan di klaten sana” Ibu memang sangat bangga akan bapaknya walaupun tidak ingat lagi wajahnya karena memang tidak ada foto album yang tersimpan.
Menurut ibu, kakek hilang pada saat ramai-ramainya gerakan PKI di sekitar pintu masuk kota Klaten. Saat itu terkenal dengan Pasukan Merah. Konon pada hari saat kakek menghilang itu, kakek dalam perjalanan dari Jogja ke Klaten karena ada undangan pernikahan salah seorang teman seperjuangannya di jogja. Dengan hanya menggunakan sepeda ontanya yang cukup besar kakek berjalan dengan santai. Ditengah perjalanan, ia ketemu dengan salah seorang saudaranya yang naik andong dari arah berlawanan. Saudaranya itu bercerita bahwa diperbatasan atau di pintu masuk kota klaten ada banyak pasukan merah yang sedang melakukan sweeping. Saat itu posisinya masih di prambanan, wilayah yang terdapat candi peninggalan kebudayaan hindu terbesar di indonesia. Wilayah ini adalah perbatasan propinsi Jogja dengan propinsi Jawa Tengah. Hingga saat ini, masih ada yang menyangka kalau candi prambanan itu berada diwilayah Jogja, padahal sebenarnya sudah masuk propinsi jawa tengah, tepatnya kabupaten klaten. Kakek tetap saja melanjutkan perjalanannya dari prambanan menuju ke kota klaten, hingga akhirnya tibalah di perbatasan kota klaten, didaerah Jogonalan. Di wilayah inilah kakek terlihat terakhir, tidak ada yang tahu bagaimana kejadiannya secara persis. Bahkan seluruh warga desa Grideh pun juga tak ada yang tahu. Kakek hilang ditelan arus pergolakan saat itu.
Dengan kondisi yang yatim sejak kecil ini maka ibu selalu giat membantu nenek bekerja disawah, menanam padi, memberi pupuk, kadang juga seharian dirumah sawah menjaga agar tidak ada burung yang mencuri butir-butir padi yang sudah siap panen. Masa panen adalah masa yang paling menyenangkan, setiap tiga bulan, jika tidak diserang hama merupakan saat yang indah. Dibantunya nenek memanen padi, menjemur, hingga membawanya ke slepan agar bisa menjadi beras untuk bisa dijual. Dan tentunya setelah itu ia akan diberikan uang jajan dan uang sekolah sehingga bisa membeli buku, baju, bahkan sepatu. Masa-masa itu sepatu adalah sesuatu yang sangat mahal dan sulit ditemui orang yang menggunakan sepatu. Jika pakai sepatu, maka dia termasuk orang yang mampu. Sedangkan kalau jajanan makan, sangat jarang sekali. Kalau dirumah saja kesukaanya adalah ikan asin, nasi diberi kecap dan lauk ikan asin merupakan hal yang sudah biasa baginya. Mungkin dari kebiasaan seperti inilah yang bisa menjadi bibit-bibit perilaku ibu disaat besar, pintar menghemat, hal yang tidak dimiliki oleh bapak.
Hampir setiap hari perjalanan dari desa kesekolah dilalui dengan berjalan kaki dan kadang juga bersepeda. Baru setelah besar dan lulus dari Sekolah Dasar, oleh nenek ibu diminta agar kost saja di Solo. Madarasah Mualimin Mualimat Muhammadiyah (MMMM) Solo merupakan sekolah yang masa belajarnya hanya lima tahun, kalau saat ini sepadan dengan SMP yang dilanjutkan dengan SMA. Hanya kalau di MMMM ini bila dilanjutkan ke IAIN maka perlu masuk dahulu ke Sekolah Persiapan IAIN. Kebetulan Grideh memang lebih dekat ke Solo daripada ke kota Klaten sendiri. Sekitar sepuluh kilometer jarak tempuhnya, sedangkan jika ke kota Klaten bisa lebih dari delapan belas kilometer. Nenek sangat mendukung penuh agar ibu tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Sehingga setelah lima tahun di MMMM ibu diminta untuk terus lanjut ke IAIN Sunan Kalijaga di Jogja. Nah disinilah Bapak bertemu dengan Ibu, dengan perantara adik bapak yang satu kost dengan ibu, Alhamdulillah akhirnya mereka bisa berjodoh.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sabtunya Ibu : Saat tiba …
Sesi-5
Tanpa terasa, telah satu jam perjalanan dari surabaya dan memasuki wilayah Mojokerto. Kota Mojokerto tidak kami lewati, hanya melalui sebelah selatannya, karena melalui jembatan tol yang kini sudah tidak ada gerbang tolnya lagi. Sepanjang perjalanan hampir seluruh rumah dipinggir jalan selalu memiliki bentuk pagar rumah yang unik, pudak berundak. Yaitu seperti tembok yang pipih luas kemudian ditumpuk-tumpuk, makin keatas makin mengecil. Kesannya adalah seperti melihat candi yang kecil dari kejauhan. Mungkin ini adalah peninggalan dari sejak jama majapahit dahulu, karena disinilah daerah pusat kerajaan Majapahit yang terkenal itu. Jombang tidak jauh dari Mojokerto, diwilayah tempat banyak tokoh lahir seperti Gus Dur, Cak Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib ini lumayan ramai. Disini terdapat tempat makan yang cukup ramai dihampiri oleh musafir-musafir dari luar kota, yaitu sebelah barat kota jombang ada warung Pojok dua. Harganya memang relatif murah dengan menu masakan-masakan khas jawa timur.
Setelah mampir sebentar untuk sarapan, aku langsung menggantikan istriku menyetir. Tidak tega rasanya membiarkan dia menyetir selama dua jam perjalanan ini. Dari desa Perak jombang yang penuh dengan warung pecel lele langsung kami menyeberangi sungai Brantas memasuki Kertosono. Hutan Saradan sebagai tanda bahwa disini adalah kabupaten Nganjuk tidak terlalu macet, walaupun ada beberapa truk dan bis disepanjang jalan. Nganjuk dan Ngawi tidak sebesar Jombang dan seramai Jombang, sehingga perjalanan terasa cepat sekali tahu-tahu sudah memasuki muntilan, daerah terakhir propinsi jawa timur yang berbatasan dengan Sragen jawa tengah. Di Muntilan terdapat pondok pesantren gontor khusus putri. Nama pesantren sebenarnya adalah darussalam, tetapi orang mengenalnya sebagai pesantren Gontor, karena memang yang aslinya adalah di desa Gontor Ponorogo.
”Pak, nanti ada tugu gombal khan ya ?”
Anakku yang besar secara tiba-tiba mengagetkanku dengan pertanyaan itu.
”O,ya sebentar lagi ada, tapi kayaknya tinggal satu mbak Aya, satunya sudah ditebang sehingga jadi lebih pendek.”
Dia memang tahu kalo disitu terdapat dua buah pohon di seberang jalan yang penuh dengan kain gombal. Sepertinya pohon itu ada yang menghuninya, orang dengan kondisi yang tidak begitu waras. Aku pernah melihatnya saat malam hari terlihat agak terang, seperti ada lampu didalam kain-kain bekas itu. Entah sedang apa, bertapa mungkin, tapi kok dipinggir jalan.
Lepas sudah dari Jawa Timur, nuansa jawa tengah langsung terasa, ditandai dengan banyaknya soto -soto kwali yang berjualan sepanjang perjalanan Sragen, Palur dengan bakso rusuknya, dan Solo yang sangat penuh dengan keaneka ragaman makanan. Biasanya kalau ke Solo, tidak lupa aku mampir ke pasar klewer untuk belanja baju-baju batik dan dilanjutkan dengan makan masakan soto kesukaanku, soto babat di sebelah barat solo, Kartosuro. Kalau malam juga ada masakan enak di daerah kepatihan solo, sekitar depan balai Muhammadiyah, sego liwet dengan didampingi wedang klengkeng, sangat nikmat sekali. Belum lagi yang lainnya, Soto Triwindu, Bakso Goyang lidah, Soto gading, Es dawet sargede, tahu kupat dan lainnya. Tapi hari ini aku tidak mampir solo. Aku harus mengejar waktu agar segera sampai di Klaten.
Begitu masuk Delanggu, yang merupakan daerah pertama wilayah Klaten, hatiku langsung bergemuruh. Tak sempat lagi aku lirik tempat gethuk lestari kesukaanku diawal Delanggu. Tak kupedulikan lampu lalulintas yang merah diperempatan delanggu. Tampaknya tidak ada polisi yang mengejar, mungkin mereka menyadari kegundahan hatiku ini. Saat di solo tadi, tiba-tiba ada telepon masuk. Entah siapa yang menelepon, menanyakan aku sampai dimana, dan diminta langsung kerumah saja.
Akhirnya perjalanan terhenti tepat di pertigaan selatan rumah depan toko Arafah
tetanggaku sekitar yang berjarak lima puluh meteran dari rumah, aku nggak bisa masuk. Banyak sekali mobil disepanjang pinggir jalan itu. Dan terdapat bendera warna merah.
Dess..Hati ini langsung down. Aku merasa berada diawang-awang. Untungnya mobil masih bisa kuparkir didepan toko Arafah. Ada tetangga yang mengambil alih mobil, dia akan memindahkan ke tempat yang lebih aman. Dekat rumah yang sudah penuh dengan manusia dan tenda yang panjang sekitar tiga puluh kali sepuluh meter. Ibu memang orang yang sangat amat baik, bahkan kepada siapapun, jadi aku tidak heran kenapa kok banyak sekali orang yang datang. Aku langsung lari sambil menggendong anakku Ainaya, adeknya digendong istriku. Bapak sudah menyambut didepan.
”Ibumu le, ibumu.. ”
Aku langsung tahu maksudnya. Kulihat bapakku yang terlihat tabah , tidak terlihat bekas air mata dipipinya itu langsung kupeluk, walaupun aku tahu bahwa hati-nya pasti hancur. Sebagaimana hati anaknya ini.
"Innalillaahi wa Inna Ilaihi Rooji'uun",
Bapak memang sangat tergantung sekali dengan ibu. Ini terlihat sekali khususnya saat kudengar cerita dari mbak Rani, Bagaimana bapak berteriak histeris saat dikatakan oleh dokter bahwa ibu sudah meninggal. Ternyata kejadiannya beberapa saat setelah aku menelepon mbak Rani tadi pagi, tepatnya saat mbak Rani minta aku untuk pulang segera. Ia tidak berani langsung mengatakannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat bagaimana histerisnya bapak, jika kubayangkan pasti sangat mengenaskan karena tidak pernah dibayangkan bahwa akan secepat ini, padahal rencananya hari ini ibu akan pulang.. ternyata maksudnya adalah pulang ke rakhmatullah...Inilah peristiwa tersedih pertama dalam hidupku, tak ada yang diluar ini yang menyebabkan aku teramat sedih. Tak ada. Aku sangat merasa bersalah, aku seharusnya sudah kemarin-kemarin bisa datang, tidak perlu sibuk untuk ikut-ikutan rafting, tidak perlu menunda-nunda.
Sehari penuh itu rasanya dunia ini terasa kejam sekali, menyedihkan. Tak ada kejadian yang lebih menyedihkan dari ini. mulai dari pagi hingga akhirnya aku ikut menyolatkan Ibu, mengantarkannya menuju liang kubur di area pemakaman. Seluruh saudara hadir, tapi itu malah membuatku semakin teringat padanya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ibu yang suka makan ikan asin
Ibu yang suka dengan anggrek
ibu yang suka membantu orang lain
ibu yang sangat jarang marah
ibu yang sangat murah senyum
ibu yang senantiasa menunggu suaminya hingga malam hari
ibu yang senantiasa mendengarkan berbagai masalah suami dan anaknya
ibu yang sering memberi
ibu yang tak pernah mengeluh
ibu yang tak pernah mau menyusahkan anaknya
ibu..
Engkau penuh dengan kebahagiaan
Ya Allah kepada Engkaulah kami akan dikembalikan,
Berikanlah tempat yang dirindukan kepada ibu kami...Ya Allahhh.
Sabtu ini sabtunya Ibu.
hiks hiks terharuu banget
ReplyDeletesuweeerrr
pehh kagum saya pak sama kepinteran panjenengan mendeskripsikan bagaimana keadaan ibuk panjenengan
saya pas mbaca yg terakhir langsung dheg gtu
langsung mak tratap
panas di mripat saya pak
kepengen nangis
udah panas gtu lo di mata
baguss
bagusss banget
bagus pokoke
top abis deh
memang sih agak mbulet baca crita yg tengah2
trus ada 1 yg saya nggak ngerti
pas kan panjenengan crita klo nama kakek dijadikan jln
tp kok gak disebutkan jln apa
trus smpe mana
kan buat penasaran yg baca pak
tp gpp kok
malah nambah bagus
klo tanya2 kan bisa lebih kenal hehehe
seneng pas bagian yg terakhir nya
apiikk banget pokokna deh
top abisssss
bisa masuk ke perasaaan
bener2 deh
tetep semangat pak
saya tunggu karya berikutnya
mana lagi yg laen pak??
chaiyoooooo
Terimakasih,..
ReplyDeletemaaf baru buka bbrp tahun kemudian.
sejak menulis ini malah sudah jarang buka blog..
Jalan-nya Jalan UMAR namanya, di klaten..