Dua jam dalam catatan
@Abuafi
Surabaya, 3 Januari 2006
Udara hari itu mendung sekali. berita dari jember sangat memilukan, tanah longsor menimpa 6 desa dengan korban lebih dari lima puluh orang..
Innalillaahi wa Inna Ilaihi Rooji'un.
Langit diatas Surabaya sangat gelap, gelap sekali. Dan dengan alasan itu ditambah khawatir kalo anakku nggak siap dengan Ujian besok, maka aku segera pulang jam setengah lima sore tepat.
Keluar dari samping Tunjungan Plaza IV yang ada SOGOnya itu aku langsung masuk kejalan Embong malang. Mendung dengan rintik-rintik jatuh beriring-iringan laksana Symponinya Mozart tepat saat didepan Hotel JW Mariot. Begitu belok kiri menuju kedung doro, hujan mulai lebih deras. Kadang aku musti mempercepat putaran wiper mobil agar pandangan tidak terganggu oleh derasnya hujan.
Mobil dan sepeda motor kian banyak, sehingga mau nggak mau aku hanya berjalan nggak lebih dari duapuluh kilometer per jam, kadang malah berhenti. Di pasar kembang,yang memang banyak kaki-lima kaki-lima penjual kembang terlihat sudah memasang stand dipinggir jalan, otomatis membuat kondisi bukan menjadi lebih baik. Air mulai nampak dipinggir jalan, mengalir sedikit demi sedikit dengan warna yang khas, coklat kehitam-hitaman. Dari kiri jalan yang memang pisisinya lebih rendah menuju ketengah jalan yang rame dengan kendaraan.
Akhirnya begitu sampai pada perempatan jalan diponegoro dan dr.sutomo terlihatlah puncak dari cuaca sore itu. Pucuknya air mencapai setengah ban mobil kijangku membuat seluruh kendaraan berjalan lambat, pengendara sepeda motor bebek didepanku sering sekali memutar tangan kanannya sehingga asap dari knalpot itu menambah putih pandangan depan mobilku.
Hal menarik kuliat disamping kananku seorang bapak tua dengan menggunakan topi mandor tebu yang peninggalan jepang tampak sedang asyik menikmati kendaraannya, sebuah sepeda kumbang tahun lima puluhan. Memang kalau kondisi seperti ini sepedalah yang menang, dengan keunggulannya yang tanpa motor. Bodinya yang kecil dan ringan membuatnya bisa bergerak leluasa melalui celah-celah diantara mobil dan sepeda motor. Jarak seratus meter bisa ditempuhnya hanya dalam satu menit, mencolok sekali dengan mobilku yang baru bisa mencapai jarak seratus meter itu setelah tigapuluh menit. Benar-benar situasi yang sangat tidak menyenangkan.
Sekilas kulihat seraut wajah dijendela berhujan hujanan tanpa membawa payung yang bisa melindunginya dari air hujan yang deras. Tubuhnya yang kurus terbalut kaos tipis bergambar padi dan bulan sabit warna kuning dan hitam,
"logo partai keadilan sejahtera" pikirku.
Tok..tok..tok, kutahu maksudnya.
Dengan cepat tanganku langsung bergerak meraih koin-koin yang ada di bawah tape mobil kijangku. Dua koin seratusan kuberikan kepadanya, cukupkah itu ?..entahlah, tetapi bila dia berhasil memperoleh nilai yang sama dari sepuluh mobil saja pada saat itu,berarti baru bisa untuk membeli bakso yang bunderannya ada empat biji dicampur mie yang katanya mengandung formalin pengawet mayat itu. Cukupkah ?..
Wallaahu'alam.
Seraut wajah di jendela
Mengetuk daun pintu hatiku
Menghiba kau menghiba
Mengharap dapat uang sekeping dua
.......
Achmad Albar tak kan tahu kalau lagunya kunyanyikan disaat yang tepat dengan alunan vokal falsku.
Kemacetan berikutnya adalah di perempatan Jalan darmo dan diponegoro,atau tepatnya di depan kebon binatang wonokromo. Masih untung ternyata lampu lalu-lintasnya tidak mati, papan timer-nya yang baru memang terlihat sedang mati, tetapi lampu merah-kuning-hijau masih menyala normal, tidak kurang sesuatu apa. Ada pak polisi disana, sibuk mengatur sepeda motor yang lalu lalang pelan-pelan. untungnya juga disitu tidak banjir, tetapi tidak lama,setelah perempatan sudah menunggu genangan air setinggi lutut yang menyambut kendaraan itu satu-persatu. otomatis harus berjalan beriringan seperti karnaval saja rasanya. Ini ternyata juga bukan kemacetan terakhir dalam perjalanan pulang itu.
Didepan Giant hypermarket sangat panjang sekali kemacetannya. Banjir sudah tidak ada, tetapi hujan masih saja deras. Dari Tunjungan Plaza hingga di Giant aku sudah menempuh waktu satu setengah jam, padahal biasanya kalau normal (macet sedikit) itu hanya sekitar empat puluh menit. Inilah kotaku, kota Surabaya, kota pahlawan saat 10 nopember tahun 1945 dan sekarang adalah kota banjir ditahun 2006.
Bunderan Dolog ternyata tidak jauh beda, tetap kondisi perjalanan 'lemah-gemulai' tanpa adanya perubahan yang berarti. Dan yang terakhir adalah di bunderan Waru, masih mending memang daripada sebelum-sebelumnya, jalanan jalur kiri A Yani cukup lenggang, tidak ada masalah. Kubelokkan setir ini kearah kiri, pelan-pelan kuarahkan ke lajur tengah sambil sedikit-sedikit kulihat spion kananku, siapa tahu ada jeda yang cukup untuk memasukkan mobilku sehingga masuk kelajur kanan. Lajur kanan setelah bunderan waru yang menuju ke sidoarjo itu adalah lajur favorit dari seluruh kendaraan roda empat yang ke sidoarjo, karena dari situ akan lebih nyaman menaiki jembatan layang didepan terminal bungurasih, tanpa harus repot-repot macet lagi melalui pasar dibawah jembatan.
Akhirnya aku sampai juga dirumah..
Alhamdulillah. jam setengah tujuh malam,tepat dua jam lama perjalanan yang kutempuh sore itu.
Dua jam perjalanan dalam sebuah catatan
-b-
http://www.sarikata.com/index.php?fuseaction=home.baca&id=7299
Hmm.. testing
ReplyDeletehehehehe.. masak nggak tau ?..
ReplyDelete