Tuesday, February 27, 2007

Si Kuning Langsat

Kerudung hitam yang dikenakannya tampak sudah lusuh dimakan usia sebagaimana mengiringi perjuangan saat ia duduk ditikungan tajam di pojok sekolah. Sebuah tenda kecil bertiang bambu setinggi satu meteran dengan atap rumbainya yang dari ilalang kering. Wajahnya tampak lusuh, sambil sesekali tangan kecil itu mengusap keringat di dahi dengan kain batik gendongnya. Sebuah bakul rajutan bambu yang biasa disebut rinjing tergeletak begitu saja tanpa ada isinya.
Tepat jam tiga subuh tadi ia berangkat bersama kelima rekannya dari lereng lawu naik truk kecil yang dinunuti karena tujuannya sama, ke pasar matesih. Tak ada yang dibawanya kecuali batik gendong dan rinjing kosong itu. Beberapa lembar uang ribuan sengaja dibawa sebagai bekal dalam usahanya hari ini, sekitar dua ratus ribuan saja. Dan setelah satu jam melalui hutan desa, sawah, dan rintangan jurang-jurang yang senantiasa teriring sepanjang jalan, sampailah di pasar matesih yang masih sepi.

Langkah pertama cukup dilakukannya dengan duduk manis dipojok tikungan jalan itu, dan tak berapa lama kemudian sebuah motor berkeranjang tampak datang menghampirinya tanpa ada sapa basa-basi. Tidak sampai sepuluh menit, isi keranjang di sepeda motor tampak sudah berpindah sebagian ke rinjing tua yang dibawanya. Tampaknya rekannya yang lain juga tertarik dengan isi keranjang sang pemilik sepeda motor itu. Sehingga dalam waktu setengah jam saja, sepeda motor itu sudah tidak lagi kelihatan di sekitar pasar. Akhirnya proses tahap kedua telah dilakukan, ia telah membeli barang dagangan dari sipemilik sepeda motor. Tahap ketiga yang perlu dilakukannya adalah memajang dagangannya di tenda kecil itu. Menanti satu-persatu orang yang lalu lalang dan ditawarinya sebuah barang yang dikenal juga sebagai si kuning langsat. Iya isinyalah yang menyebabkan disebut seperti itu. Kenyal dan berwarna kuning serta sangat nikmat.

Siapa yang tidak tahu si kuning langsat ni ? Sebagai orang indo, atau asia pasti tidaklah asing dengan buah yang baunya sangat 'merangsang' banyak orang. Yang merasa aneh mungkin orang barat, karena memang buah ini tidak berasal dari sana, tapi dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Bahkan ternyata buah ini berawal dari salah satu pulau di Indonesia, yaitu Borneo. Sebuah pulau di utara java yang sekarang kita sebut dengan Kalimantan. Tetapi yang tampak didepan mata saat ini bukanlah di Borneo, di sebuah desa, di sebuah pasar Matesih yang kecil dan sepi. Sang ibu berkerudung hitam terlihat masih menjajakan duriannya, mungkin tinggal dua puluh hingga tiga puluhan biji.

" Pinten niki bu ?" tanyaku langsung kepadanya, berapa harganya. " Meniko mas, wonten kaleh welas duren, sedoyo sangang doso kemawon". Ditawarkannya kepadaku langsung sebanyak dua belas biji dengan harga sembilan puluh ribu.

" Lho kok kaleh welas ? mboten saget mundut setunggal tho bu ?, aku heran kenapa kok ditawarin harus beli dua belas biji, tidak bisa beli biji-an.

" Oh, anu mas. Soale meniko sampun radi siang. Menawi jenengan pendet sedoyo. Kulo enggal saget langsung wangsul. Duren niki sae kok mas, kuning lan kandel. Monggo jenengan pirsani lan dicicipi mawon." Karena memang hari sudah agak siang, sekitar jam sembilan, ia ingin segera pulang sehingga langsung jual banyak. Sambil membelah sebuah duren yang paket dua belas biji tadi dan mengiris dagingnya untuk kemudian diberikan kepadaku.

" O, ngaten tho. pas-e mawon pinten bu, wolung doso mawon nggih.", kucoba tawar, walau sebenarnya agak kasian. Karena durennya ternyata memang sudah murah sekali. Satu biji nggak sampe sepuluh ribu, bandingkan saja dengan Monthong yang satu biji bisa sampe enam puluh ribu. Apa lagi ternyata setelah dicicipi memang sangat nikmat, kenyal dan manis-manis pahit, khas duren sebenarnya.

" Aduh nyuwun ngapunten mas, lha kulo wau mendete sampung wolong doso. Nggih sampun wolung doso gangsal kemawon. Monggo ". Ia menawarkan hargga akhir delapan puluh lima ribu rupian untuk kedua belas duarian tadi, ia mengaku kulakannya seharga delapan puluh ribu.

" Leres nggih bu, nggih sampun nek ngaten. Kulo cubi ingkang sanese nggih." Akhirnya aku setuju, tetapi terlebih dahulu aku ingin mencicipinya satu persatu. Kelihatannya memang durian yang baru saja jatuh dari pohon, terlihat dari kondisi buahnya yang tampak sudah agak membuka dengan tidak terlihat bekas goretan pisau pada pucuk buahnya.

Begitu sampai dirumah, seluruh anggota keluarga langsung melahap dengan nikmat. Subhanalloh ternyata tujuh orang hanya mampu menyantap empat biji saja. Sisanya bahkan sama sekali tak tersentuh. Dan ternyata, seluruh yang makan merasakan kenikmatan yang sungguh luar biasa, benar-benar nikmat, tiada rasa tiada tara.

Saat makan itu terpikir dalam pikiranku, ibu tadi sepertinya tidaklah memperoleh untung yang lumayan dalam sehari. Jika setiap seratus ribu ia ambil untung sepuluh ribu, berarti dengan uang yang ia bawa sebesar tiga ratus ribu, hanya bisa memperoleh keuntungan tiga puluh ribu sehari, dalam sebulan berarti tidak sampai satu juta rupiah. Tidak terbayangkan olehku jika ia hidup dikota surabaya yang sangat keras ini, uang sembilan ratus ribu sebulan mungkin hanya cukup untuk makan saja.

By The Way, Alloh Maha Adil.

2 comments:

  1. Anonymous5:06 PM

    Memang sih, banyak sekali 'pengepul-pengepul' kecil seperti itu di desa-desa. Justru merekalah yang memberikan kehidupan perekonomian kita ya..

    ReplyDelete
  2. iya betul sekali. mereka itu 'pengusaha'-2 yang perlu dibina pemerintah seharusnya. Karena masih banyak orang yg tdk mau berusaha seperti mereka.

    ReplyDelete

Monggo dipun raos lan dipun rasani kemawon.. ;-)

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut